Rumah Tangga Jauh Dari Keluarga Besar VS Dekat Dengan Keluarga Besar.

25 September 2017

Di keluarga saya, tempat tinggal sanak saudara semuanya berdekatan, satu dusun masih termasuk keluarga semua, Khusus keluarga Ummi, kalau ada yang menikah, pasti saudara-saudaranya siap-siap bangun rumah di sekitar situ juga. Ada tanah yang disiapkan dari mendiang Datok-datok kami. Jadi kurang yang bisa kena dengan istilah "Istri ikut suami" yang ada malah "Suami ikut istri" atau pokoknya harus tinggal di sekitar situ. Sama kayak Papa saya, yang semua keluarganya bermukim di Tamalanrea, dan sekitar Makassar, Papa saya anak lorong, anak pelosok kota banget, setelah menikah dengan Ummi, ya harus tinggal ke kampung halaman ummi. Begitu lah kampung halaman memang ya, sepanjang jalan, rumah-rumah masih terbilang sanak keluarga sampai sepupu-sepupu saya menamainya dengan dusun cendana #Halah AHAHAH

Saya anak pertama dari empat bersaudara, dan juga paling pertama menikah. Karena sempat menjalani LDM (Long distance marriage) saya gak tinggal di mertua yang ada di Pare-pare, tapi tetap tinggal di rumah ummi di Gowa, dusun cendana, jadi begitu suami datang, tibanya langsung ke rumah ummi. Sampai akhirnya saya harus ke Jakarta ikut suami ke sana, berumah tangga di sana. Tapi jujur, rumah tangga kami, meskipun jauh dari keluarga besar, kami masih dibayang-bayangi bantuan orangtua. Sorry, bukan materi atau uang ya. Suami saya alhamdulillah sudah lebih dari cukup untuk membiayai rumahtangga kami.

Papa saya yang membantu mencarikan rumah dinas di Jakarta, Ummi yang membantu membujuk sepupu saya yang lagi nganggur untuk ikut ke Jakarta, nemani saya ngurus duozam. Di Jakarta ada om dan tante yang diminta memantau saya dan suami. Bantuan-bantuan seperti itu masih kami dapatkan dari keluarga besar kami. Bahkan gak jarang juga, ummi ke Jakarta ikut nemani sampai berbulan, atau berminggu-minggu. Maklum ya cucu laki-laki pertama. 

Bisa dibilang kami keasyikan. Kalau dapat kesulitanapa gitu, kami tinggal telepon papa ummi di kampung halaman, duozam sakit, atau apa pasti ngelapor, akhirnya bikin papa ummi terbang ke Jakarta bantuin merawat. Itu patut kami syukuri. Alhamdulillah masih ada orangtua yang kuat yang maish bisa take off ke luar pulau.

Sampai suatu hari... 

Akhirnya suami dimutasi ke Makassar, Papa pernah menghadiahkan sebuah rumah kecil untuk kami sebagai hadiah pernikahan, semantara rumah itu kami renovasi, saya dan suami tinggal di rumah ummi sampai akhirnya rumah itu bisa kami tinggali. Lokasinya memang bukan di dusun cendana, ya butuh waktu 25 menit lah dari rumah ke dusun cendana, dan tidak terlalu jauh juga untuk ke pusat kota Makassar Barat. Karena kalau di dusun cendana, kami butuh uang dan waktu untuk membangun rumah di sana hahah dan juga kampung halaman kami terlalu jauh untuk ayahzam ke kantor (di bandara)

Kalau Ayahzam sudah ke kantor, saya biasa membawa duozam ke rumah neneknya untuk main di sana, ketemu sama om-om kecilnya, main sama-sama, bobo siang di sana, bahkan saya ajak pulang mereka tidak mau, pengennya main di rumah nenek saja, karena ramai, ada banyak keluarga yang mengajak main, makannya disediakan, ngemil apa saja, disuapin, dimandiin. Selama di rumah ummi, saya cuma tidur dan tidur aja, duozam gak ada yang cari saya. 

Akhirnya saya mulai berkegiatan juga, hadir di event ini itu, diundang di acara ini itu, meeting ini itu, sebagai mompreneur dan blogger tentunya. Saya gak pernah ajak duozam, mereka saya bawa dulu ke rumah neneknya, pulang sebelum magribh baru saya jemput untuk pulang. Abangzam bahkan gak mau pulang, mau nginap di rumah neneknya aja. 
pinterest
Hari-hari seperti itu saya syukuri sekali, saya bisa menjalani passion saya, ada yang bantu di rumah ummi mengurus duozam setengah hari. Senang rasanya.

Tapi ... 

Suatu hari, ditengah acara berlangsung, saya di telepon Ummi, diminta pulang karena Abangzam sakit, sampai di rumah, saya cek keadaannya, dia lemas dan badannya panas. Begitu lihat saya tiba di rumah, Ummi langsung marah-marah. Yah lumayan lah marah-marahnya bikin nyesss hati ini. Saya disalahkan atas sakit yang abangzam alami, demam biasa! 

Malam itu saya bawa duozam pulang ke rumah, Ummi masih melanjutkan marah-marahnya sampai saya sudah di dalam mobil. Siapa coba yang mau dengar omelan menyayat hati yang sebenarnya isinya salah paham dan kekhawatiran yang berlebihan. Dan malam itu saya memutuskan untuk tidak akan mau lagi membawa duozam ke rumah Ummi. Baik itu dalam keadaan senang atau susah.

Masa jenuh...

Mungkin Ummi sudah sampai ke taraf masa jenuh, ada dua anak kecil di rumahnya yang tumbuh besar makin aktif, makin banyak bicara, dan tentunya makin susah diatur. Semua saya yang disalahkan saat duozam sakit, atau saat mereka tidak mendengar neneknya. Semua karena salah bundanya yang terlalu sibuk aktifitas di luar. Sedangkan saat mereka sehat, bahagia, dan penurut, mereka jadi anak yang besar karena neneknya. Sehat karena nenek, sakit salah bunda. Saya di doktrin seakan saya bunda yang tidak melakukan apa-apa. 

Ya namanya juga "Orangtua jaman Now!" #eh apa ya

Saya pun ikut jenuh dengan segala omelan, nasehat, dan perbanding-bandingannya antara hidup kami dengan cara hidup keluarga kecil lain. Saya jadi bertanya, kenapa bukan dari dulu membiarkan kami mandiri?  kenapa bukan dari dulu menyerahkan anak-anak sepenuhnya ke pengasuhan saya dan suami? kenapa tidak dari dulu Ah... sudahlah ...

Akhirnya sekarang saya memilih untuk tinggal berjauhan dari keluarga besar. Mulai sekarang mencoba untuk tidak melibatkan bayangan keluarga besar, tidak sering lagi membawa duozam ke dusun cendana. Yang dulu serba dilayani, serba dimanja, sekarang berubah jadi mandiri HARUS ya pokoknya! Tapi tentu saja kami akan tetap bersilaturrahim. hehehe :) 

Tapi bukankah saya harus tetap jadi Ibu bahagia? Me time saya adalah dengan menjalani passion saya, tentunya saya diskusikan hal ini ke suami saya, dan alhamdulillah suami saya mengizinkan saya untuk tetap menjalani aktifitas kesukaan saya dengan tetap memilih untuk tidak "menitip"kan duozam ke rumah neneknya. Jadi gimana? ikut aja acara yang bisa bawa anak. hehehe

Mengalah dengan keadaan...

Ya, pada akhirnya akan ada satu masa setiap orang harus mengalah dengan keadaan. Kami sih memang tidak tinggal bareng satu rumah dengan orangtua, tapi memang masih dekat sekali, masih menggantungkan diri, masih minta bantuan [skali lagi bukan materi/uang*] bisa dibilang kami belum benar-benar mandiri. So, ya mari kita coba, HARUS dong ya hehehe. 

“Mengalah kepada keadaan bukan akhirnya kita menyerah kepada keadaan. mengalah adalah fase mempersiapkan diri menjadi lebih kuat dan pantas untuk menghadapi keadaan.”

Dampak berumahtangga mandiri berarti kami tidak bergantung kepada orang lain, apalagi orangtua, kami akan bisa menyelesaikan masalah sendiri, serta mengambil keputusan sendiri. Mungkin kalau berkaitan dengan duozam, keluarga besar akan sedikit "nyempil" lagi hihihii. 

33 comments on "Rumah Tangga Jauh Dari Keluarga Besar VS Dekat Dengan Keluarga Besar."
  1. Aku malah berpikir gini lho saat melihat banyak diantara teman ku yg masih bergantung pada orang tua (bukan secara materi) : "Duh enaknya bisa nitipin anak-anak. Ada yg ngurus anak ketika kita pengen jalan berdua suami atau ketika sakit.".

    Soalnya aku dari awal nikah sudah apa-apa sendiri. Ternyata banyak hikmah, pengasuhan anak jadi tidak ada campur tangan kakek- neneknya. pasti tahu sendiri kan mak, jika ada pola asuh yg berbeda dengan cara asuh kakek/neneknya pasti kita kena omel.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaa aq juga awalnya bersyukur banged masih ngerasain bantuan orangtua dan keluarga besar, dan pada akhirnyaa ya memang seharusnya memisah diri, bukan berarti putus silaturrahim dong tentunya.

      benar aja itu soal pengasuhan hehehe, kadang pula omelannya bikin nyesss hati ini memang, ya orangtua kalau marah memang baik artinya masih cinta, tapi ya gitu, kita merasa udah punya anak kehidupan sendiri kenapa masih dicampuri, di omeli hahaha.

      Delete
  2. Ada suka dukanya ya Mba'. Saya jauh dari ortu dan mertua. Kalo orang tua saya harus naik pesawat dulu, beda pulau soalnya. Ayah sama Emak di Bangka, kami di Jawa. Kalo sama mertua harus menempuh jalur darat 5 jam lamanya. Hikmah nya adalah kami jadi mandiri. Tapi dukanya kami nggak bisa langsung bantu mereka kalau ada apa2, kayak kemaren kakak saya meninggal, saya lagi hamil tua,nggak bisa takziyah,do'a dari jauh aja. Pulang2 tinggal lihat kuburnya aja. :(
    Tapi semua pasti ada hikmahnya. Semangat. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaaa benar mbak suka duka beragam memang... ahhhh setiap keadaan punya keberkahannya masing2 yaaa...
      makasih mbak udah berkunjung ke blog ku

      Delete
  3. Setiap kejadian harus kita petik hikmahnya.
    Sama banget dengan saya nih Qiah. Ortu masih selali campur tangan dengan rumah tanggaku, maklum anaknya cuman 2. Senang sih karena masih diperhatikan & terbantu banget tapi kadang kesel juga kalo dicampuri menyangkut pola asuh anak, urusan rumah, apalagi kalo sampe menyerempet ke suamiku. Tapi ya gitu deh orang tua, anak ya tetap dianggap anak-anak. Hahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Deh iyaaa kak kaloo menyerempet soal rumah tangga mii huhuhuhu nyesss nyessss banged. Dan pada akhirnya memang seorang anak bakal balik ke pelukan ibu hehehehhe

      Delete
  4. dilema sih ya mak Qiah kalau nitipin anak ke orangtua. disatu sisi enak tapi disisi lain kudu siap juga disalah-salahin. jadi duozam ikut acara aja ya? kenapa nggak coba daycare mak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anak2ku gak biasa daycare di makassar jg daycare jauh2an dari rumah. Mungkin nanti aq mau biasakan juga ya udah mau masuk skolah juga sih heheh makasih mbak udah baca baca blog ku

      Delete
  5. dari liat postingan ini.... kayanya gampang2 susah ya k qiah jadi mom. Sabar y k qiaah dimarahi umminya, smoga dgn itu k qiah bs jd ibu yg sabar dan mau berbesar hati, amiiin.

    habibapratiwi.blospot.com

    oh y new release nih kak, lifestyle blogku: ahspeabyhabibapratiwi.blogspot.com
    sila mampir dan follow jika berkenan, makasii :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hueheheh bangett tiwiii..
      alhamdulillah udahan marah2 si ummi hehehehe saya juga udahan bapernya hahah
      waktu nulis postingan ini masih dalam keadaan baper sih wkwkwk.

      okay tiwii nanti kita bahas sama2 soal monetize blog mu yaa

      Delete
  6. klo aku sama istri masih tinggal serumah sama ortu,bukan aku seh soalnya aku di sby istri yang di rumah sama ortu. pinginnya seh istri diboyong ke sby, tapi kayaknya utuk sementara lebih baik serumah dulu sama ortu.

    “Mengalah kepada keadaan bukan akhirnya kita menyerah kepada keadaan. mengalah adalah fase mempersiapkan diri menjadi lebih kuat dan pantas untuk menghadapi keadaan.”

    ReplyDelete
    Replies
    1. HAHAHHA jadi bang bondan lagi mengalah dulu sama keadaan heheh iya mmg semua pilihan ya bang, semangat selalu

      Delete
  7. Kadang suka iri sama anak yang selalu dekat dengan orang tuanya. Rumah bersebelahan, kalau ada apa-apa, dengan cepat bisa saling bantu. Paling berasa kalau ada anggota keluarga yang sakit, sering sedih karena jauh dari keluarga besar..

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah iya kak ndy itu juga salah satu kesyukuran yang saya rasakan kalo tinggal dekat dengan keluarga besar ^^

      Delete
  8. Your own house is a wonderful gift for the family. Now you can tackle the other problems. You do not need anymore to worry about where to stay.

    ReplyDelete
  9. jadi kebayang kalau sudah menikah nanti bagaimana rasanya saya tinggal di rumah atau tinggal di Kompleks Mertua Indah yah..

    ReplyDelete
  10. Baca ini saya jadi rindu ibuku... Saya juga dulu paling menikmati momen "anak dititip ke eyangnya". Tapi sekarang sudah ndak bisa, tapi masih bisa dititip ke rumah nenek.
    Sampai suatu saat saya juga sadar kalau begini terus nanti kalau ada apa-apa yg terjadi sama anak dia bukan cari saya, tapi cari nenek atau nannynya... Duh, hampir 2 tahun saya pertimbangkan ini, akhirnya saya putuskan resign dari kantor dan banyak ngobrol sama suami. Ternyata dan akhirnya saya bisa jauh lebih bahagia karena ridho suami lebih dari segalanya apalagi saya memang terbiasa bicarakan hal-hal yang tidak saya suka bahkan dengan mertuaku, hehe...

    Semangat Qiah, masalah kita dan tiap orang berbeda, tapi Allah sudah siapkan cara tepat dan terbaik untuk masing-masing dari kita agar belajar tentang dinamika kehidupan ini. *HallahXD

    ReplyDelete
  11. Sejak awal berumah tangga kami memang sudah jauh tinggalnya dari orang tua. Apa-apa diurus sendiri walaupun tentu saja banyak kerepotan yang harus dialami. Sekarang kami tinggal bersama orang tua karena beliau berdua sudah sepuh dan harus ada yang menemani. Semua hal memiliki dua sisi, tinggal bagaimana menyikapinya saja

    ReplyDelete
  12. Repot memang ya..
    Bagaimanapun, orang tua akan selalu berusaha ikut membantu mengurus cucu2nya.
    mungkin tidak bermaksud mau mencampuri, murni karena insting dan rasa sayangnya. cuma kadang memang ada yang tidak sadar sampai terlalu jauh mencampuri kehidupan anak dan cucunya.

    Tapi memang benar, bagaimanapun kita harus berusaha untuk benar2 mandiri
    mandiri tapi tidak benar-benar melupakan bantuan dari orang tua hanya karena mau memperlihatkan kalau kita juga bisa.

    ReplyDelete
  13. Saya pribadi yg dari awal nikah sudah diboyong sama suami dan tinggal mandiri berdua, lalu akhirnya sekarang bertiga sama sudais kecil. Kalau sudais sakit atau kenapa2 tetep ya emaknya yg diomelin, mau dr mertua atau orgtua ; efek krn syg banget sm cucunya kadang jg ga peduliin hati anaknya uo uo 😂

    But memang jadi pilihan yg sudah tepat kak qiah untuk tinggal sendiri dan jauh dr keluarga, katanya biar kita bisa tau jg kapan garam didapur waktunya di isi :)

    Semangat trs untuk ibu2 dan istri mandiri tp ttp bekerja diluar sana 😘

    ReplyDelete
  14. Pernah merasa sangat jauh dari keluarga besar, yang harus nyebrang pulau, sekarang saya bersyukur sudah satu provinsi dengan keluarga besar. Walau jarak Bone Makassar masih terbilang jauh. Tapi setidaknya kalo ada hari kejepit nasional, bisa cuti dan segera mudik tanpa perlu beli tiket pesawat. Hehehe

    ReplyDelete
  15. Masing-masing ada plus minusnya. .Yg jauh maupun yang dekat dari keluarga besar. .Kalau saya ntar paling jarak antar kabupaten aja. Ngak beda pulau. .Kerna dari awal udah di persiapkan. .whatever, tetap semangat dan samawaki kakak. .

    ReplyDelete
  16. Keluarga kecil sy pun masih dalam kondisi seperti ini, karena menunggu kejelasan pekerjaan, sementara waktu ngontrak dan lucunya dekat sekali dgn runah mertua. Jadilah kebanyakan di rumah mertua apalagi ada 2 anak kecil yang masih sangat kecil. Betul-betul kadang butuh bantuan untuk menjaga mereka.

    Entah tinggal dekat atau jauh, semua ada kesan tersendiri, ada plus minus. Saya sih mau tinggal agak jauh meski sekota

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, dekat dengan keluarga besar itu satu kesyukuran bisa datang pada saat yang dibutuhkan, anytime.

    ReplyDelete
  18. Saya dari awal menikah, memang jauh dari keluarga besar. Pas Ridwan lahir dulu, Saya sempat berpikir, cobanya dekat keluarga ini bisa dititip dulu mauka keluar je event, bosan di rumahhhhh. Pada akhirnya Saya berdamai dengan keadaan, ikutan event yang bisa bawa anak saja hehhehe

    ReplyDelete
  19. Keren kak. Pelajaan bijak bagi saya sebelum membangun rumah tangga, seperti apa memgambil sikap dari keadaan sudah tergambarkan dengan baik dalam tulisan di atas.

    ReplyDelete
  20. qiahhh... saya malah beruntung jauh dari ortu, memang dari dulu pengen mandiri, pengen masuk pesantren supaya mandiri, dan terkabul ketika suami dinasnya luar dari makassar, tapi yah itu ada sisi harunya kalo lagi kangen atau pengen nitip anak saya cuman bisa diskusi dengan suami, tapi memang saya tipikal susah ngomong untuk urusan dalam ke orang lain sih, jadi saya masih bersyukur tinggal berjauhan hehehe

    ReplyDelete
  21. Sy sangat berkesan membaca artikel mbak ini. Sy jg saat ini tinggan dirumah ibu sy. Kebetulan sy anak terakhir yg mau ga mau memang harus tinggal dirumah merawat kedua ortu sy (bapak sy sdh meninggal, tinggal ibu). Secara materi sy tdk bergantung sama sekali, malah bsa di bilang sy & suami lah yg menghidupi rmh ini. Mengurus anak pun td nya sy pny asisten rmh tangga utk membantu ibu sy. Tp ya begitulah, di dalam 1 rmh ada 2 orang yg berperan sbg ibu. Membuat keadaan tdk sehat, dua ibu pny cara hidup yg berbeda. Smua menganggap cara nya lah yg paling benar. Sy menganggap sy yg benar, begitupun dgn ibu sy yg berfikir demikian. Apapun yg sy kerjakan sllu salah. Begitupula dg cara asuh anak. Anak sehat bahagia krn neneknya, anak sakit krn ibunya. Tp di satu sisi gamungkin sy hidup mandiri & meninggalkan ibu sy sendirian. Ini kondisi yg sulit buat sy. Diam salah, jawab dgn nada tinggi jg salah. Setiap orang pasti pny batas kesabaran y mba. 😭😭😭

    ReplyDelete
  22. Need to take your class online? Take Your Class Online offers best online class help! Just say take my online class for me. We offer do my online class help!

    ReplyDelete
  23. I can also relate to this as i am also the only son at home and i can't just leave and settle in any other place

    ReplyDelete
  24. Households far from extended family often experience increased self-reliance, independence, and the need for strong internal support systems. Conversely, those close to extended family enjoy a robust network, emotional support, and shared responsibilities. Both situations come with unique challenges and benefits, shaping family dynamics and individual experiences significantly.

    ReplyDelete
  25. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  26. "Thank you for shedding light on such an important topic! Your suggestions for living more sustainably are practical and achievable. I appreciate how you provide actionable steps for readers. It’s inspiring to see how we can all make a difference. Keep up the great work in spreading awareness!" E Book Writing Service

    ReplyDelete

Auto Post Signature